- Diposting oleh : Eko Mudji
- pada tanggal : September 02, 2025
Di timur Nusantara, Pulau Celebesa menjulur seperti bintang yang miring, empat cabang daratan memeluk laut, sementara Gunung Latimojong berdiri seperti pena raksasa yang siap menulis takdir. Malam itu, kabut tipis merunduk pada hutan. Ombak berpendar biru, seolah ada kunang-kunang yang belajar berenang.
Di bibir pantai batu, seekor anoa mungil muncul dari balik semak pandan laut. Namanya Raksa, artinya penjaga. Tubuhnya kecil, tanduknya pendek, tapi matanya memantulkan keberanian yang menolak padam. Ia membawa seutas tali rotan bergantungan biji-biji hutan, tanda perjalanan panjang dari lembah lumut.
“Jika kau kecil,” pesan ibunya di ingatan, “jadilah yang paling teliti.” Raksa menghirup angin asin, menghitung jeda ombak: satu… dua… tiga… datang lagi. Ia membaca ritme alam seperti membaca kalimat pertama buku yang belum pernah dilihatnya.
Ketika ia menapaki karang-karang licin, Raksa mendengar bunyi kecil tok… tok… tok dari arah pasir gelap. Sebutir telur, oval, rapuh, terpisah dari sarangnya, menggigil sendirian. Ombak besar mengancam menyapu.
Raksa menimbang. Jika ia menolong telur itu, ia bisa terseret ombak. Jika ia mengabaikan, nuraninya akan basah oleh sesal. Ia melihat ke timur—awan tebal mengumpal seperti alis yang murka.
“Penjaga melindungi yang lemah,” gumamnya, meski ia sendiri tampak paling lemah di pantai itu.
Ombak mengangkat tubuhnya sampai kaki nyaris terangkat. Raksa menancapkan kaki kecilnya, menghitung lagi: satu… dua… sekarang! Ia menyelam setengah badan, mengait telur dengan tali rotan, lalu menubruk karang sebagai jangkar. Air menerjang, menggulung, menepuk punggungnya berulang—namun sang anoa menahan, gigi meringis, mata terpejam.
Dalam deru air, ia mendengar hal aneh, gemerisik seperti halaman buku dibalik oleh angin. Srrrt… srrrt… Suara itu datang dari hutan, seolah memanggil namanya.
Ombak surut, meninggalkan busa yang memanjang seperti tulisan miring. Raksa mengangkat telur itu, meletakkannya di balik akar pandan yang kering. Napasnya memburu, lututnya gemetar, tapi bibirnya tersenyum kecil.
“Maaf, aku lamban,” katanya pada telur, “tapi aku tidak akan bohong: tadi aku takut.” Ia mengakui ketakutan itu kepada dirinya sendiri—dan merasa dadanya ringan.
Angin meredup. Di kejauhan, hutan menyala kehijauan, seolah daun-daun berbisik. Di pasir, jejak busa membentuk kata yang bisa dibaca oleh siapa pun yang teliti: RAKSA. Lalu tiga dentang halus melayang dari jantung rimba—ting… ting… ting…—bunyi yang hanya terdengar oleh calon murid dari Sekolah Rahasia.
Raksa menoleh pada telur yang diselamatkannya. “Aku akan kembali setelah tahu dari mana kau berasal,” janjinya. Ia melangkah ke arah hutan, mengikuti dentang itu. Kabut membuka jalan seperti halaman dibalik—srrrt—membentuk lorong daun yang tak ada sedetik sebelumnya.