Skip to Content
Loading
Eko Mudji Santoso
Eko Mudji Santoso
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Arc Pulau Celebesa — Episode 2 Legenda Buku Ilmu yang Hilang

Raksa di Celebesa menguak legenda Buku Ilmu yang Hilang:peta akar, empat unsur, dan pesan: kejujuran membuka halaman pertama.

 

Lorong kabut itu bermuara pada sebuah lapangan hutan yang tenang. Di tengahnya berdiri pohon beringin tua dengan akar-akar menjuntai seperti tirai. Pada salah satu akar, tergantung lonceng-lonceng dari tempurung keong yang berkilau lembut. Mata yang tadi mengintip di balik daun muncul lagi—bukan binatang, melainkan siluet setipis kertas yang memantulkan cahaya remang. Suaranya selembut perpustakaan:
“Raksa, kau mencari ilmu. Di pulau bercabang empat ini, ada Buku Ilmu yang Hilang.”

Raksa menegakkan telinga. Angin dari Gunung Latimojong turun membawa bau lumut dan tanah basah. Di tanah, akar-akar beringin membentuk pola seperti peta: empat jalur mengarah utara, timur, selatan, barat—menyerupai empat cabang Pulau Celebesa. Pada ujung masing-masing jalur, tampak ukiran kecil seperti lambang: setetes air, sebutir telur, sepotong batu, dan seberkas api.

“Buku itu,” lanjut suara, “pernah menyatukan semua ilmu: cara membaca langit, menghitung aliran sungai, dan menulis kejujuran di hati. Lalu ia menghilang.”
Raksa menelan ludah. “Menghilang ke mana?”
“Disembunyikan oleh Penjaga Lama saat kebohongan mulai disebut kebenaran,” jawab siluet. “Kini yang tersisa adalah legenda, dan legenda mudah salah dibaca.”

Akar-akar beringin menyingkap papan kayu tua dengan ukiran aksara kuno. Raksa memicing. Ia belum bisa membaca tulisan itu. Di benaknya muncul dua pilihan: menebak supaya tampak hebat, atau mengaku belum bisa. Jika ia salah, apakah pintu ilmu akan tertutup? Jika ia jujur, apakah ia akan dicemooh oleh suara yang tak berwajah itu?

Raksa menghela napas. “Aku tidak bisa membacanya… belum,” katanya mantap. “Tapi aku bisa membaca pola.” Ia berlutut, menyentuh ukiran. Ia menghitung guratannya: satu, dua, tiga… sebelas. “Sebelas guratan di sini, seperti sebelas puncak di punggung Latimojong yang sering diceritakan ibuku.”
Ia menunjuk lambang-lambang di peta akar. “Air, telur, batu, api. Empat cabang pulau, empat unsur. Jika buku itu hilang, mungkin ia terbagi menjadi empat bagian sesuai cabang. Air untuk timur, batu untuk utara, api untuk barat, telur untuk selatan. karena selatan hangat dan jadi tempat kehidupan menetas.”

Lonceng-lonceng tempurung berdering tiga kali—ting… ting… ting…—seakan menyetujui. Dari mahkota beringin melayang selembar “daun” yang kaku seperti perkamen. Di permukaannya terukir kalimat samar:

“Ilmu tumbuh bila dibagi. Namun ia lenyap bila dipamerkan.”

Huruf terakhir memudar, menyisakan sudut yang sobek. Seolah itu hanya sepotong halaman dari sebuah kitab yang lebih besar.


Siluet setipis kertas itu bergoyang seperti bayangan lilin. “Kejujuran membuka halaman pertama,” bisiknya. “Tapi jangan lupa: di pulau ini, ada mereka yang mencari buku itu untuk menang—bukan untuk belajar.”
Angin merunduk. Di kejauhan, terdengar sayup bunyi ketukantok… tok… tok…—mirip yang Raksa dengar di pantai ketika menyelamatkan telur. Ia menoleh, hatinya terikat pada janji kecilnya sendiri: kembali mencari asal telur itu.


Raksa menggulung daun-perkamen dan menyelipkannya di tali rotan. Ia membungkuk pada beringin. “Kalau benar ada empat bagian, aku akan mencarinya satu per satu. Tapi aku ingin belajar dulu, agar tidak salah membaca tanda.”
Siluet mengangguk samar, lalu meresap ke batang beringin. Di tanah, peta akar berpendar. Jalur selatan menyala paling terang—lambang telur berdenyut seperti detak jantung.

Raksa melangkah ke arah cahaya itu. Namun sebelum ia sempat pergi, ia mendapati sesuatu di sela akar: sebuah penanda buku dari tulang kecil, diukir lambang tanduk—dan di sisi belakangnya ada goresan tipis:

“Hanya yang berani mengakui kekurangannya akan menemukan pintu.”

Raksa menggenggam penanda itu, tersenyum tipis. Lalu kabut bergerak lagi—srrrt—membuka jalan ke selatan.
Di balik kabut, terdengar tawa lirih yang bukan miliknya, bukan milik hutan. Tawa itu cerdas, cepat, dan nakal seperti milik seekor monyet hitam yang baru saja mengetahui bahwa seseorang tepat di depannya sedang memegang halaman pertama dari Buku Ilmu yang Hilang.


Bersambung ..........


Berbagi

Postingan Terkait

Posting Komentar

Konfirmasi Penutupan

Apakah anda yakin ingin menutup pemutaran video ini?