Raksa menyusuri jalur selatan yang disinari kilau halus dari peta akar. Hutan berganti-ganti: dari mangrove yang berbisik sampai bukit kapur yang menguap dingin. Dentang tempurung keong memandunya—ting… ting… ting…—semakin rapi seperti metronom.
Lorong kabut berakhir pada celah dua pohon beringin yang berpelukan, membentuk gerbang sulur. Di dalamnya, hutan berubah menjadi halaman sekolah tanpa dinding. Ada kelas sungai di mana murid-murid menaruh daun kering dan menghitung arusnya, kelas angin yang belajar membaca arah dengan menutup mata, dan kelas batu tempat mereka menggosok kapur hingga muncul peta purba. Tidak ada bel keras, hanya angin yang membunyikan lonceng-lonceng kecil.
Di antara murid-murid itu, Raksa melihat kuskus beruang meringkuk di dahan, seekor tarsius bermata besar memegang ranting seperti pena, dan rangkong yang menata kerikil menjadi baris-baris tanda. Tak ada papan pengumuman—semua jadwal ditulis di bayangan daun.
Raksa melangkah ke gerbang sulur. Di atasnya terukir kalimat samar dalam aksara yang baru sebagian ia mengerti:
“Masuklah bila kau siap belajar hal yang belum kau tahu.”
Sebuah daun timbangan tergantung di samping gerbang, memantul hijau. Seekor rusa kecil menunjuknya. “Setiap tamu harus menaruh niat di sini,” katanya pelan. “Jika timbangan berat oleh kepura-puraan, gerbang menutup.”
Raksa terdiam. Ia teringat pada halaman sobek dari Buku Ilmu yang Hilang yang ia simpan di tali rotan. Ia juga mengingat telur yang diselamatkannya di pantai—janji kecil untuk mencari asalnya. Dua niat berputar di benaknya: ingin belajar, dan ingin menepati janji.
Ia meletakkan tali rotan—dengan penanda tulang dan halaman sobek—di atas daun timbangan. Sulur-sulur gemerisik, menakar tanpa suara.
Gerbang tidak langsung terbuka. Kabut berkumpul dan membentuk bayangan setipis kertas di udara siluet yang pernah menyambut Raksa di beringin tua. Suaranya jernih, nyaris seperti kapur menggores batu.
“Di sini, murid yang menebak akan tersesat,” katanya. “Apa kunci pertama Sekolah Rahasia?”
Raksa menelan ludah. “Kejujuran,” jawabnya, sama seperti yang ia lakukan di bawah beringin.
“Dan kunci kedua?”
Raksa melihat sekeliling: kelas angin, sungai, batu—semuanya mengajar tanpa buku tebal, tanpa suara keras. “Kerja sama,” katanya, “karena angin tak bisa dibaca sendirian, dan sungai tak bisa dihitung tanpa daun lainnya.”
Siluet bergetar; lonceng keong berdenting tiga kali—ting… ting… ting…. Gerbang sulur terbuka perlahan. Di tanah, akar merentangkan nama-nama kelas seperti peta. Seekor tarsius menyodorkan lembar daun bertuliskan rangkaian titik-titik—seperti sandi. “Ini kartu murid pendengar,” ujar tarsius. “Kau belum bisa menulis aksara kami? Tak apa. Di sini kita mulai dari apa yang kau miliki.”
Raksa menapaki halaman. Di kelas sungai, ia belajar menakar arus dengan membagi daun menjadi kelompok dua, empat, dan delapan—numerasi sederhana yang membuatnya tersenyum. Di kelas angin, ia menutup mata dan membaca arah lewat aroma: garam dari laut, getah dari hutan, kapur dari bukit. Di kelas batu, ia menyusun kerikil menjadi pola berulang, lalu mencari anomali—kerikil yang sengaja disembunyikan guru untuk melatih ketelitian.
“Sekolah ini aneh,” gumam Raksa, kagum. “Tapi aneh yang masuk akal.”
Tiba-tiba, dari atas kanopi, jatuh selembar kulit kayu bertuliskan tiga garis miring—bekas cakar—dan satu cap bundar seperti telapak tangan. Murid-murid saling pandang. Rangkong berbisik, “Tanda Monyet Hitam. Mereka suka menguji strategi… atau menyabotase.”
Siluet kertas muncul lagi, tipis seperti renik kabut. “Raksa, malam ini Ujian Keberanian Pertama. Jika lulus, kau resmi menjadi murid penjelajah. Tapi ingat: ada yang mengincar halaman di rotanmu. Jangan pisahkan belajar dari berjaga.”
Raksa mengangguk. Ia menggenggam tali rotan, merasakan halaman sobek berdenyut hangat—seakan mengenali halaman lain di suatu tempat. Lalu dari kejauhan, terdengar tok… tok… tok…—ketukan yang dulu membawanya pada telur.
Ia menoleh. Di tepi halaman sekolah, di bawah akar beringin yang menghitam oleh lembap, tampak lubang pasir yang baru tergali—dan di dasar lubang, telur yang ia selamatkan tidak lagi sendiri. Ada jejak telapak kecil yang mengarah ke rimba, diikuti tiga goresan cakar di tanah…
Raksa menatap tanda itu. Apakah sahabat atau musuh yang baru saja membawa telur itu pergi? Lonceng keong berdentang sekali lagi—kali ini suaranya sumbang, seperti kalimat yang sengaja disamarkan.
Bersambung .............................
Berbagi
Postingan Terkait
Loading...
Posting Komentar
Konfirmasi Penutupan
Apakah anda yakin ingin menutup pemutaran video ini?