Skip to Content
Loading
Eko Mudji Santoso
Eko Mudji Santoso
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Arc Pulau Celebesa — Episode 4 Ujian Keberanian Pertama

Ujian Keberanian Pertama: Raksa menyeberangi Jembatan Nada di Gua Akar, memilih Sinar Jujur, menyelamatkan telur, sementara Monyet Hitam mengintai.

Malam turun seperti selimut tinta. Di halaman Sekolah Rahasia, lonceng-lonceng dari tempurung keong berdentang tiga kali—ting… ting… ting…. Murid-murid berkumpul mengelilingi beringin tua. Di depan mereka, sulur-sulur membentuk panggung akar. Dari antara kabut, muncul sebatang tongkat kapur yang menulis sendiri di udara:

Ujian Keberanian Pertama: Menjaga, Membaca, Melangkah.

Raksa menggenggam tali rotannya—di situ tergantung halaman sobek dari Buku Ilmu, juga penanda tulang bergambar tanduk. Ia menarik napas, mengingat pelajaran hari ini: berani bukan berarti tak takut; berani artinya tetap teliti di tengah takut. 

Siluet setipis kertas penjaga sekolah muncul bagai bayangan lampu. “Raksa,” bisiknya, “tantanganmu ada di Gua Akar. Ambil Cahaya Jujur untuk menerangi kelas besok. Kau boleh meminta bantuan siapa pun yang tak berbicara.”
“Tak berbicara?” Raksa bingung.
“Angin, air, batu, daun… mereka bisa menolong tanpa janji yang mudah dilanggar.”

Raksa melangkah menyusuri lorong kabut. Di tanah, ia menemukan jejak telapak kecil dan tiga goresan cakar—tanda yang sama dekat lubang pasir sekolah. Jejak menuju ke arah yang sama dengan Gua Akar. Hatinya terbelah: mengejar telur yang ia selamatkan, atau fokus pada ujian. Ia menatap tongkat kapur di langit yang menulis lagi:

Penjaga melindungi sambil belajar; bukan memilih salah satunya.

Raksa memutuskan: ia akan mengerjakan ujian sambil menjaga.


Mulut Gua Akar memisahkan tanah seperti bibir batu. Di dalamnya, udara dingin berbau lumut. Di dinding gua ada ukiran angka lumut: 2, 3, 5, 8 dan satu kotak kosong. Di bawahnya terbentang Jembatan Nada—seutas liana melintang di atas jurang gelap. Di seberang jembatan tampak Cahaya Jujur berdenyut seperti kunang-kunang raksasa dalam kapsul getah.

Sebuah bisik tertulis di udara:

Langkahmu harus mengikuti suara: jumlahkan dua langkah sebelumnya.

Raksa menutup mata, mendengar tetes air membentuk pola: tok… tok… tok tok… tok tok tok…
Ia mengerti—deret penjumlahan. Ia menambatkan tali rotan pada pinggang, lalu memohon pada angin agar tenang dan pada batu agar tak runtuh—meminta bantuan mereka yang “tak berbicara”.
Langkah pertama, 2 ayunan. Kedua, 3 ayunan. Ketiga, 5. Keempat, 8. Liana berhenti bergetar; jurang terasa menahan napas. Ketika ia tiba di tengah, dari celah akar muncul telur yang pernah ia selamatkan—tersangkut di rakit akar, nyaris jatuh.
Raksa merunduk, memeluk telur itu dengan tubuh kecilnya. “Kau ikut denganku,” katanya, menaruh telur di dalam kantung rotan di dadanya. Lalu ia melanjutkan: 13 ayunan. Liana menegang sempurna; Cahaya Jujur di seberang makin terang. Dengan hentakan terakhir—21—ia melompat ke tepi seberang.

Di sana, kapsul getah menunggu bersama sebuah teka-teki yang terukir di kulit kayu:

*Pilih salah satu untuk menerangi sekolah:

  1. Sinar Cepat (terang seketika, padam selamanya),

  2. Sinar Banyak (terang besar, membuat bayangan hitam pekat),

  3. Sinar Jujur (terangnya tumbuh seiring niat baik).*
    Raksa menatap telur di kantungnya, lalu menatap kapsul. “Aku takut yang cepat membuatku terlena, yang banyak membuatku sombong,” gumamnya. “Aku pilih Sinar Jujur.”
    Ia menyentuh kapsul. Cahaya itu meresap ke tali rotan, menyala lembut tanpa menyilaukan."

Saat Raksa bersiap kembali, terdengar desis tawa licik dari kegelapan—ringan, cerdas, seperti milik monyet hitam. Liana tiba-tiba bergoyang, namun angin yang tadi ia minta tetap—seakan menahan jembatan dari ulah tangan jahil. Raksa maju menghitung napasnya: 13, 8, 5, 3, 2—kembali mengikuti pola, tapi kali ini mundur. Ia sampai di sisi gua dengan selamat.

Di luar, bulan menapak celah awan. Raksa menaruh telur di sebuah lekuk pasir hangat dekat akar pandan, menutupnya dengan daun kering agar aman. “Aku belum tahu siapa pemilikmu, tapi aku akan terus menjagamu,” bisiknya. 

Di halaman sekolah, lonceng keong berdentang. Siluet kertas muncul, menatap sinar lembut di tali rotan Raksa. “Kau lulus, Penjaga Kecil. Keberanianmu bukan pada loncatan paling jauh, tapi pada pilihan paling jujur.”

Murid-murid mengelilingi Raksa; tarsius memberi tanda daun berbentuk telinga—lencana murid pendengar-penjelajah. Saat itu, halaman sobek di rotan Raksa berpendar dan memperlihatkan tulisan samar yang baru muncul:

‘Kau berjalan dengan benar. Esok, seseorang akan mengajarimu tanpa wujud—Guru Bayangan menunggumu.’

Angin tiba-tiba memadamkan semua obor halaman. Yang tersisa hanya Sinar Jujur di tali rotan Raksa cukup terang untuk melihat senyum teman-temannya… dan cukup temaram untuk menampakkan bayang-bayang lain di belakang beringin: sepasang mata cerdas yang mengerling, lalu menghilang, meninggalkan aroma buah hutan dan janji teka-teki baru.

Berbagi

Postingan Terkait

Posting Komentar

Konfirmasi Penutupan

Apakah anda yakin ingin menutup pemutaran video ini?